Keamanan
pangan dewasa ini memerlukan banyak perhatian. Minggu lalu salah satu program televisi
memberitakan tentang mie formalin yang kembali merebak ke masyarakat. Melalui
hasil penelusuran redaksi acara tersebut, ternyata penggunaan formalin sebagai salah
satu pengawet pada mie basah adalah hal wajib yang ditambahkan supaya awet dan
dapat bertahan di suhu ruang dalam waktu
hingga satu minggu.
Oleh
karena, sebaiknya kita lebih memperhatikan bahan makanan, khususnya mie untuk mengetahui
mie layak konsumsi (tanpa formalin) dan mie yang tidak layak konsumsi
(berformalin). Berikut adalah beberapa tanda-tanda perbedaan antara mie
formalin dan mie tanpa formalin.
- Mie berformalin tekstur lebih terang dibandingkan mie tanpa formalin
- Mie berformalin lebih lentur atau kenyal dibandingkan tidak berformalin
- Mie berformalin tidak berbau telur dan lebih berbau seperti obat (formalin), sedangkan mie tidak berformalin berbau telur
- Mie berformalin bisa bertahan lebih lama hingga 3-5 hari di luar ruang, daripada mie tanpa berformalin (kurang dari 1 hari)
Pengujian
formalin secara kualitatif dapat dilakukan dengan cara, sbb :
aA. Uji Kromatopat
- Timbang bahan sebanyak 5 gram
- Masukkan aquades dalam beaker glass sebanyak 50 ml, kemudian didihkan.
- Masukkan bahan yang diuji ke dalam erlenmeyer, lalu direndam dengan aquades yang mendidih,
- Masukkan asam kromatopat,
- Produk yang mengandung formalin akan ditunjukkan dengan berubahnya warna aquades menjadi merah muda hingga ungu. Semakin ungu berarti kadar formalin semakin tinggi.
keunguan. Reaksinya dapat dipercepat dengan cara menambahkan asam fosfat dan dan hidrogen peroksida.
Hasil Uji Lapangan oleh BPOM pada Mie Berformalin (www.pom.go.id) |
bB. Uji Feri-klorida , FeCl3
- Melarutkan sampel ke dalam aquades
- Memisahkan filtrate sampel
- Menambahkan FeCl3 0,5%
- Menambahkan H2SO4 pekat
- Sampel positif mengandung formalin apabila terbentuk cincin ungu.
Akumulasi formalin yang tinggi di
dalam tubuh akan menyebabkan berbagai keluhan, misalnya iritasi lambung dan
kulit, muntah, diare, serta alergi. Bahkan bisa menyebabkan kanker, karena formalin
bersifat karsinogenik. Formalin termasuk ke dalam karsinogenik golongan IIA.
Golongan I adalah yang sudah pasti menyebabkan kanker, berdasarkan
uji lengkap, sedangkan golongan IIA baru taraf diduga, karena data hasil uji
pada manusia masih kurang lengkap.
Dalam jumlah sedikit, formalin akan larut
dalam air, serta akan dibuang ke luar bersama cairan tubuh. Itu sebabnya
formalin sulit dideteksi keberadaannya di dalam darah. Tetapi, imunitas tubuh
sangat berperan dalam berdampak tidaknya formalin di dalam tubuh. Jika imunitas
tubuh rendah, sangat mungkin formalin dengan kadar rendah pun bias berdampak buruk
terhadap kesehatan.
Menurut IPCS (International Programme
on Chemical Safety), lembaga khusus dari tiga organisasi di PBB, yaitu ILO, UNEP,
serta WHO, yang mengkhususkan pada keselamatan penggunaan bahan kimiawi, secara umum ambang batas aman di dalam
tubuh adalah 1 miligram per liter. Sementara formalin yang boleh masuk ke tubuh
dalam bentuk makanan untuk orang dewasa adalah 1,5 mg hingga 14 mg per hari.
Bila formalin masuk ke tubuh melebihi ambang batas tersebut maka dapat
mengakibatkan gangguan pada organ dan sistem tubuh manusia.
Akibat yang ditimbulkan tersebut dapat terjadi dalam waktu singkat atau jangka pendek dan
dalam jangka panjang, bisa melalui hirupan, kontak langsung atau tertelan.
Berdasarkan standar Eropa, kandungan formalin
yang masuk dalam tubuh tidak boleh melebihi 660 ppm (1000 ppm setara 1 mg/liter).
Sementara itu, berdasarkan hasil uji klinis, dosis toleransi tubuh manusia pada pemakaian secara terus-menerus
(Recommended Dietary Daily Allowances/RDDA) untuk formalin sebesar 0,2 miligram
per kilogram berat badan. Misalnya berat badan seseorang 50 kilogram, maka tubuh
orang tersebut masih bias mentoleransi sebesar 50 dikali 0,2 yaitu 10 miligram
formalin secara terus-menerus.
Sedangkan standar United State Environmental
Protection Agency/USEPA untuk batas toleransi formalin di udara, tercatat sebatas
0.016 ppm. Sedangkan untuk pasta gigi dan produk shampo menurut
peraturan pemerintah di negara-negara
Uni Eropa (EU Cosmetic Directive) dan ASEAN (ASEAN Cosmetic Directive) memperbolehkan
penggunaan formaldehida di dalam pasta gigi sebesar 0.1 % dan untuk produk shampoo
dan sabun masing-masing sebesar 0.2 %. Peraturan ini sejalan dengan ketentuan
yang ditetapkan oleh Badan Pengawas Obat dan makanan (BPOM) di Indonesia
(Keputusan Kepala Badan Pengawas Obat & Makanan RI No HK.00.05.4.1745,
Lampiran III "Daftar Sat Pengawet Yang Diizinkan Digunakan Dalam Kosmetik)
Selain formalin, sat lain yang dilarang penggunaannya sebagai
bahan tambahan pangan antara lain : metanil yellow, boraks, kloramfenikol, dietilpilokarbonat,
dulsin, dan nitrofurason.
Semoga bermanfaat dalam memilih bahan pangan berkualitas
(dari berbagai sumber)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar