Musim panas lewat diam-diam, meninggalkan jejak di padang rumput yang cokelat kekuningan. Mongolia—yang terkungkung di tengah daratan mahaluas—tiba-tiba sunyi dari hiruk-pikuk para pelancong. Semua wisatawan bergegas meninggalkan negeri itu di ambang musim gugur. Hawa dingin menjalar cepat dan sungguh tak bersahabat. Salju melumat seluruh negeri sejak pertengahan September. Suhu anjlok dari hari ke hari. Kehijauan padang rumput beralih menjadi samudra putih yang menggentarkan hati.
Mongolia adalah tanah yang ramah, hangat, dan indah pada Juni hingga Agustus. Di musim panas singkat ini, matahari terbit di waktu subuh, bersinar terik sepanjang hari, dan terbenam menjelang tengah malam. Tapi musim gugur datang terlalu cepat, sebelum orang tanak menikmati sinar surya.
Angin dingin dan salju September hanyalah ”pembuka” sebelum Mongolia mengarungi hari-hari dengan temperatur jauh lebih ganas: bisa minus 60 derajat Celsius. Embusan napas langsung menjadi es, darah membeku, pembuluh perih tak keruan. Seperti Siberia, kata Anda. Mongolia tak jauh berbeda, kata saya.
Di ujung barat, di Provinsi Bayan Olgii, kita berhadapan dengan realitas Mongolia yang lain. Lupakan kaum shaman yang masyhur, karena di sini berdiam bangsa minoritas Kazakh pemeluk Islam. Lupakan tenda-tenda putih bangsa nomaden, karena bangsa Kazakh (walaupun di musim panas tinggal di tenda seperti bangsa Mongol) kini sudah pindah ke rumah kayu yang hangat untuk melewatkan ganasnya musim dingin.
Tapi lelaki Mongolia tetaplah pria-pria yang dipilih Genghis Khan untuk menaklukkan dunia. Sementara lelaki Jawa memelihara perkutut dalam sangkar, pria Mongolia sampai kini memelihara budaya yang nyaris punah: berburu elang. Sebuah tradisi yang melibatkan kegagahan, keberanian, kejantanan.
***
Elang itu mengepakkan sayap lebih panjang daripada rentang tangan orang dewasa. Di langit biru mahaluas, hewan raksasa itu melesat, melayang lambat, terbang mengitar, bermanuver dan berakrobat, mengincar sesuatu dengan matanya yang awas. Lalu hap… burung itu menukik tajam ke arah kami yang tengah memandang di daratan dengan terkagum-kagum.
Seorang pria Kazakh mengendalikan kuda dengan anggun. Kepalanya mendongak, matanya menyipit, perhatiannya hanya terpaku pada elang di angkasa. Tubuh lelaki tangguh ini berbalut baju dari bulu tujuh ekor serigala. Topinya menjuntai lebar, dibikin dari bulu kaki rubah. Dia lebih mirip hewan berbulu, sebuah kamuflase bangsa pemburu yang mengincar mangsa di alam liar. Di mata saya, lelaki Kazakh ini seperti datang dari abad pertengahan melalui mesin waktu.
Tangan kirinya mengendalikan kuda yang berlari cepat. Tangan kanannya terbungkus sarung tebal dari kulit hewan, terulur menengadah. Di atas telapak tangannya, ada seiris kecil daging merah.
Dalam sekejap, burung itu melesat dari awang-awang, menukik tajam. Sssttt… sssttt… sssttt… hanya terdengar kepakan sayap yang membahana di tengah embusan angin dingin. Burung itu mendarat di atas telapak tangan si penunggang kuda. Kakinya yang tajam mencengkeram erat-erat tangan kanan yang terbungkus sarung tebal. Tanpa perlindungan ini, kulit manusia bisa hancur tercabik oleh kuku elang, yang setajam pisau tukang jagal. Dengan kuku yang sama, burung raksasa ini bisa membunuh domba, rubah, kelinci, hingga anak sapi dan serigala.
Penonton bersorak girang. Penonton? Ya, ini acara tahunan Golden Eagle Festival, tempat berkumpulnya pemilik elang jagoan dari seluruh penjuru Bayan Olgii. Lelaki berkuda yang ditepuki itu menyeringai bangga. Elang peliharaannya terbukti tangguh. Burung seberat tujuh kilogram itu terbang dari puncak bukit yang menjulang tinggi ratusan meter di belakang lapangan, tapi masih bisa dengan titis menyambar sejumput kecil daging segar yang dibawa pemiliknya.
Keawasan mata Aquila chrysaetos, golden eagle, alias elang besar dari Pegunungan Altai di Mongolia Barat adalah yang terbaik di dunia. Jarak pandangnya sampai sepuluh kali lebih tajam daripada penglihatan manusia normal.
Dalam bahasa Kazakh, pria yang menyeringai itu dikenal sebagai burkutchu, dari kata burkut, yang artinya elang, dan chu, ahli. Dalam bahasa Inggris, mereka disebut sebagai falconer atau eagle hunter, pemburu elang. Jangan salah, pemburu elang tidak memburu elang, tapi berburu bersama elang. Namun, tentu saja, sebelum memiliki elang pemburu, mereka harus benar-benar memburu sendiri elang yang akan dipelihara.
Sejak ribuan tahun lalu, elang menjadi alat berburu yang mematikan. Tak perlu senapan, peluru, racun, atau jala. Pertandingan ketitisan elang yang diterbangkan dari puncak gunung untuk memburu mangsa di lapangan adalah penyederhanaan kultur perburuan bersama elang.
Dulu, olahraga ini dimonopoli kaum ningrat. Konon Kaisar Mongol Genghis Khan punya pasukan elite pemburu sekaligus pawang rajawali. Cucunya, Kubilai Khan, sering mengadakan ekspedisi raksasa perburuan bersama ribuan rajawali pilihan. Seiring dengan meluasnya kekuasaan imperium Mongol, tradisi ini menyebar hingga ke Eropa dan Arab. Kini kepemilikan rajawali dan elang beralih ke para syekh Arab yang bergelimang harta.
Namun jangan bandingkan bangsa-bangsa itu dengan kebanggaan orang Kazakh akan elang dan rajawali. Di sini, elang tak hanya muncul dalam simbol-simbol, hikayat, atau mitologi. Elang adalah bagian hidup nyata. ”Sejak bangsa Kazakh terlahir ke bumi, kami sudah menjadi pemburu elang,” kata Baydi, kakek tua dari Bayan Olgii, yang sudah lebih dari 50 tahun menjadi pemburu elang.
Baydi adalah salah satu tetua pawang elang Kazakh Mongolia. Di sekujur tubuhnya, segala kisah perburuan seolah melekat: pada keriput wajahnya, sejumput jenggot putih yang menjuntai, topi bulu rubah yang memahkotai kepalanya, balutan jubah hitam kebesarannya, juga kudanya yang perkasa. Elang Kakek Baydi tampak garang dengan paruh bengkok tajam, membuatnya seperti tokoh legenda klasik yang kesasar di dunia modern. Saya membayangkan, kala bangsa Kazakh ”terlahir” ke dunia ribuan tahun silam, penampilan mereka boleh jadi tak berbeda dengan Baydi.
Atamurat adalah nama pemburu lain dari generasi lebih muda. Dua elang besar hidup bersama keluarganya di kemah dan di rumahnya yang sempit. ”Tentu saja burung elang ini lebih bahagia hidup di rumah saya daripada di alam liar,” katanya dengan bangga. Berasal dari Dusun Tsengel, lelaki 43 tahun ini tergolong baru di dunia perburuan elang. ”Alhamdulillah, elang saya sudah berumur satu tahun. Bisa kau lihat sendiri betapa hebatnya ia.”
Elang milik Atamurat sudah setinggi lutut—posturnya tak jauh berbeda dibanding elang para pemburu lain. Baru saya tahu, ternyata bayi elang tumbuh pesat pada usia pertama. Setelah mencapai ukuran standar, ukuran tubuh elang tak banyak berubah lagi sampai akhir hayatnya.
Atamurat bercerita, elang miliknya dia culik dari puncak gunung ketika hewan ini masih bayi mungil, dan berkaok malang di sarang, menantikan induknya membawa makanan. ”Berbahaya? Tentu saja! Induk elang adalah hewan terganas di dunia, apalagi kalau melihat anaknya diculik atau disakiti,” kata Atamurat.
Atamurat dan para pemburu lain tak merasa berdosa memisahkan bayi elang dari induknya. ”Saya justru membuatnya lebih berbahagia,” ujarnya. ”Di alam liar, betapa susahnya mereka memburu mangsa. Di rumah saya, setiap hari saya menyediakan daging segar,” kata Atamurat.
Lauren, falconer asal Amerika Serikat, punya pendapat berbeda dengan Atamurat. Menurut Lauren, elang jagoan itu bukan bayi elang yang diculik dari sarangnya, melainkan elang dewasa yang ditangkap dari alam liar. Bayi elang adalah makhluk lugu yang masih disuapi. Tapi elang dewasa yang sudah pernah memburu mangsa jauh lebih tangguh. Ia sebenarnya sudah siap jadi pemburu, tak perlu lagi banyak dilatih. ”Mata, kaki, paruh, dan sayapnya, semua sudah sempurna,” ujar Lauren.
Gadis muda ini adalah satu dari sekitar 5.000 falconer di Amerika. Dia mendapat beasiswa Fulbright untuk mendalami tradisi berburu elang di Bayan Olgii. Lauren beruntung bisa memperdalam pengetahuannya langsung bersama para pemburu Kazakh.
Elang, menurut Lauren, adalah hewan yang pintarnya sedang-sedang saja serta mudah cemburu. Manusia memanfaatkan kecemburuan itu untuk menjebaknya. Istilahnya: jealousy trick. Caranya? Daging rubah atau serigala segar ditaruh di tanah lapang. Lalu kumpulkan burung predator lain. Misalnya gagak, rajawali, atau alap-alap.
Nah, sebagai raja angkasa, elang tak sudi melihat burung-burung predator kecil yang kalah perkasa itu berpesta-pora, sementara ia sendiri kelaparan. Dengan kepakan sayapnya yang kuat, ia meluncur untuk menyambar umpan tadi. Hap…. Begitu mendarat, dia langsung dikurung oleh jaring-jaring yang dipasang para pemburu di sekeliling jebakan. Semakin kuat ia mengepak, semakin erat jaring-jaring membelitnya. Nasibnya akan segera ditentukan oleh si pemburu. Sebab, tak semua elang yang tertangkap langsung dipelihara dan dijadikan hewan pemburu.
Para burkutchu hanya senang memelihara elang betina. Selain lebih ganas, ukurannya jauh lebih besar daripada para pejantan. Elang pemburu juga tak boleh terlalu tua. Idealnya berusia satu hingga dua tahun.
Setelah ditangkap, burung itu harus dilatih dulu untuk disiapkan menjadi pemburu yang tangguh. Hari-hari pertama adalah yang paling berat. Burung itu akan terus berontak. Hewan malang itu dibiarkan lapar berhari-hari. Ia harus belajar bahwa ia bukan lagi makhluk merdeka. Ia harus belajar mengenal siapa tuannya, siapa pemiliknya, yang akan menentukan nasibnya.
Sang pemburu akan meletakkan burung itu di atas tangannya sepanjang hari sembari memberikan umpan daging mentah. Dengan sigap elang itu akan menyambar daging. Tapi tidak, tidak semudah itu. Pemburu dengan sigap menarik kembali elang yang terikat kakinya. ”Kenali dulu siapa pemilikmu, baru engkau boleh makan”. Demikian berhari-hari elang itu ”disiksa” sehingga ia melepaskan keliarannya dan berubah menjadi makhluk yang patuh.
***
Hewan raksasa itu merana. Matanya tertutup tudung hitam. Kakinya terikat rantai. Ia tak beranjak dari balok kayu di sudut ruangan. Sayapnya terkadang mengepak, punuknya sesekali berdiri, paruhnya membuka, memamerkan keg anasan sang raja angkasa. Tapi ia terpenjara, di sudut rumah sederhana milik Manaa, sang pemburu elang.
”Ini burkut istimewa,” kata Manaa, pria 60 tahun, sembari terkekeh, ”Dia calon juara besar.” Jenggot Manaa sudah memutih, dan kerut yang dalam menghiasi wajahnya yang sepuh. Duduk di atas kursi kayu rendah, sambil menyeruput teh hitam asin, Manaa tak henti berkisah tentang kegagahan elangnya.
Tapi, di sudut ruangan ini, kegagahan itu terlunturkan oleh reyotnya rumah Manaa, oleh rantai besi yang mengikat kaki tajamnya, oleh tudung mata hitam yang membutakannya. Ia ibarat bangsa besar yang telah dilucuti kebang- gaannya, terkulai tak berdaya.
Mengapa elang peliharaan Manaa ini harus dibutakan sepanjang hari?
Elang adalah binatang yang teramat aktif, kata Manaa. Ketika matanya dibuka, ia akan memindai segala penjuru, mencari mangsa. Ia menjadi liar, mengepakkan sayap, siap terbang dan menerkam. Tapi di rumah ini mana ada mangsa? Bisa-bisa dia menghabiskan energinya sendiri.
”Otak burkut itu sebenarnya sederhana. Begitu matanya ditutup tudung, pikirannya cuma satu: malam sudah tiba. Binatang ini jadi mengantuk, tenang, kalem. Ia tidak melakukan hal tak perlu seperti mengincar mangsa, mengepakkan sayap, atau memberontak.”
Manaa menamai elangnya Sary Tenek. Sary artinya kuning, dan tenek berarti elang berusia dua tahun. Sebagai bangsa pencinta elang, Kazakh punya lebih dari sepuluh kata spesifik untuk menyebut elang pada berbagai tahapan umur.
Setiap hari dia menyediakan setengah kilogram daging domba untuk Sary. Tapi Manaa sengaja membuatnya kelaparan, supaya Sary lebih beringas ketika musim perburuan tiba. Elang itu hanya diberi makan malam hari, ketika tudung mata dibuka. Bret… bret… sayapnya mengepak mengikis kesunyian malam. Paruhnya yang bengkok menyeringai seram. Bulu punuknya berdiri tegak. Kepalanya berputar ke segala penjuru, dan matanya tajam. Dengan rakus, elang itu menyantap potongan daging di atas telapak tangan Manaa yang dibungkus sarung tebal.
”Memelihara elang sama sekali bukan untuk memperkaya diri, kau tahu itu,” kata Manaa. Lebih-lebih di musim panas, ketika hewan ini sama sekali tak mampu berburu, ”Kami harus menghidupinya dengan lima kilogram daging. Seekor domba hanya cukup untuk makanan elang tiga hari saja Tak mudah, karena kami pun orang miskin. Biarlah keluarga ini kelaparan,
asalkan elangku tetap kenyang,” tutur Manaa.
Elang ini bukan sekadar binatang peliharaan atau senjata perburuan. Ia menjadi bagian keluarga penggembala tua ini, bahkan bagian dari masa depan. Sedari kecil, anak-anak Manaa sudah dilatih untuk menangkap dan berburu bersama elang.
Saya memandang elang itu lekat-lekat. Ia tengah mencengkeram kuat-kuat balok kayu di sudut kamar. Sayap bulunya mengembang, gagah dan indah. Perburuan elang adalah gabungan kecintaan kepada alam, ketangguhan lelaki pengembara, kebanggaan suku bangsa padang rumput. Perburuan elang adalah seni dan tradisi turun-menurun. Di dalamnya ada semangat bertahan hidup, dan keberanian menaklukkan tantangan.
Manakala bangsa-bangsa di padang Asia Tengah sibuk mencari identitas dan eksistensinya, orang Kazakh dengan bangga memamerkan burung elang mereka.
Hari itu, pada musim panas lalu, saya berdiri di tanah lapang luas bersama ribuan manusia dari segala penjuru Bayan Olgii. Mereka dating untuk menonton Golden Eagle Festival. Mereka ingin menyaksikan para pemburu beraksi bersama elang-elang jawara. Melayang dari puncak bukit tinggi menjulang, raja angkasa itu dengan titis menyambar sejumput kecil daging segar di tangan pemiliknya.
Seseorang berkata kepada saya: ”Tataplah mata elang yang jernih tajam itu jika berani. Di dalamnya, engkau akan melihat senyum kemenangan lelaki Kazakh.”
————————————————————–
Catatan Tambahan:
Kazakh
>> Kazakh adalah satu bangsa pengembara yang mengarungi padang-padang rumput Siberia, Mongolia, hingga Asia Tengah. Selama ribuan tahun mereka berkelana bersama kawanan ternaknya, dari padang ke padang. Mereka mencari surga rerumputan segar, aliran sungai yang menghidupkan, dan hewan buruan yang boleh dimangsa.
>> Tanah tumpah darah bangsa Kazakh, kini menjadi Republik Kazakhstan, sempat dijajah Rusia. Pemerintah komunis Uni Soviet berusaha keras menghapuskan tradisi nomaden, termasuk perburuan elang. Setelah seratusan tahun dijajah Rusia, tradisi ini berada dalam bayang-bayang kepunahan.
>> Justru di Mongolia, tempat bangsa Kazakh hidup sebagai minoritas di pedalaman, perburuan elang masih bertahan hingga kini.
Agustinus Wibowo telah menerbitkan sebuah buku tentang perjalanan backpacker di Afganistan "Selimut Debu". Membaca buku tersebut membuka pikiran kita tentang bumi dan pribadi Afganistan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar